Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 300 juta orang di seluruh dunia menderita depresi. Meskipun penyakit ini kini sudah banyak diketahui dan telah diteliti dengan cukup baik, masih banyak detail yang masih menjadi misteri bagi para ilmuwan dan dokter.
Kini para peneliti telah melakukan penelitian yang… diterbitkan dalam jurnal “Laporan Ilmiah”. temukan hal baru yang menarik tentang depresi.
Melakukan analisis klaster pertama tentang depresi
Banyak dokter telah menemukan bahwa pengobatan medis terhadap mereka yang terkena dampak dalam bentuk antidepresan umum (biasanya disebut inhibitor reuptake serotonin selektif) tidak berhasil pada sekitar sepertiga dari semua penderita depresi.
“Selalu ada spekulasi bahwa ada berbagai jenis depresi sehingga mempengaruhi efektivitas obat,” jelas Kenji Doya, ilmuwan dari Institut Sains dan Teknologi Okinawa. Sejauh ini, belum ada bukti kuat yang mendukung teori tersebut.
Sebagai bagian dari studi baru, total 134 orang diwawancarai dan diperiksa aktivitas otaknya, setengahnya jelas menderita depresi (50 persen sisanya dijadikan sebagai subjek pembanding). Berdasarkan data yang dikumpulkan, lebih dari 3.000 fitur terukur kemudian dikelompokkan, sehingga memberikan berbagai wawasan baru kepada para peneliti.
Penelitian menunjukkan tiga jenis depresi
Tim ilmiah menyimpulkan bahwa penyakit ini dapat dibagi menjadi tiga subtipe. Misalnya, subtipe D3 ditandai dengan aktivitas otak yang rendah, sedangkan dua subtipe D1 dan D2 lainnya memiliki aktivitas saraf yang tinggi. Di sini peneliti juga membedakan kedua jenis tersebut berdasarkan apakah orang yang diperiksa pernah menderita trauma masa kecil atau tidak.
Perlu juga dicatat bahwa perawatan medis untuk subtipe D1 yang teridentifikasi, yaitu dengan aktivitas otak yang tinggi dan pengalaman traumatis di masa kanak-kanak, biasanya tidak efektif, yang juga konsisten dengan angka yang ditetapkan sebelumnya.
Baik bagi sains maupun kedokteran, ini adalah temuan penting yang membantu menjelaskan secara ilmiah suatu penyakit yang bagi banyak orang tampak abstrak dan tidak berwujud karena sering kali tidak adanya gejala fisik. Yang terpenting, pilihan pengobatan yang lebih baik dapat dikembangkan di masa depan.